Nelayan Demak Keluhkan Harga Solar dan Dominasi Tengkulak, KNTI Usulkan Pembentukan KUB

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Demak

Para nelayan pesisir Demak bersama KNTI Demak foto bersama seusai diskusi. Foto: Sm

ARUSUTAMA.com — Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Demak, Safi’i, mengungkapkan kondisi memprihatinkan yang tengah dialami nelayan pesisir Demak. Perubahan musim menyebabkan hasil tangkapan menurun drastis, sementara biaya operasional semakin tinggi, khususnya karena mahalnya harga bahan bakar.

“Permasalahan tetap ada, terutama karena pergantian musim yang menyebabkan hasil tangkapan menurun. Jarak melaut yang semakin jauh juga berdampak pada biaya operasional,” ujar Safi’i saat ditemui, Kamis (10/7/2025).

Meski harga rajungan cukup tinggi, yakni Rp87.000 per kilogram, kondisi itu belum mampu mengangkat kesejahteraan nelayan karena biaya operasional, terutama bahan bakar, terus membengkak. Harga solar di tingkat desa seperti Bertahwalang bisa mencapai Rp8.000 per liter, jauh di atas harga SPBU yang berkisar Rp6.800.

“Kadang nelayan harus beli solar dengan cara utang atau ngebond ke bakul karena tidak punya uang tunai. Nelayan itu lebih sering kurang daripada lebih, apalagi kalau hasil tangkapannya sedikit,” ungkap Safi’i.

Ia juga menyoroti permasalahan distribusi solar dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBUN), seperti di Desa Serangan, TPI Purworejo Bonang, dan TPI Buko Wedung yang sering datang malam hari. Situasi ini membuat nelayan sulit mengakses solar langsung dan lebih memilih membeli dari tengkulak (bakul) meskipun harganya lebih mahal.

Menanggapi persoalan tersebut, KNTI mendorong pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB) sebagai solusi jangka panjang. Safi’i menekankan pentingnya membentuk kelompok mandiri yang tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan bantuan, melainkan membangun sistem ekonomi kolektif antarnelayan.

“Dari awal kita di KNTI ingin membentuk KUB sebagai kelompok mandiri, bukan hanya untuk mengejar bantuan. Kalau ada kelebihan solar, bisa saling pinjam di kelompok sendiri,” ujarnya.

Pembina KNTI Demak, Nur Alimin, juga menambahkan bahwa pembelian solar secara kolektif melalui kelompok bisa lebih efisien dan menguntungkan.

“Kalau lewat KUB, meski harganya tetap Rp8.000, tapi keuntungannya bisa disimpan untuk kebutuhan bersama saat musim paceklik,” jelasnya.

Ia menegaskan, perubahan pola pikir masyarakat nelayan menjadi kunci.

“Kelompok itu jangan hanya jadi sarana menerima bantuan. Harus jadi alat penguatan ekonomi nelayan secara mandiri,” tambahnya.

Safi’i juga menyoroti lemahnya peran Koperasi Unit Desa (KUD) dan Koperasi Merah Putih yang dinilai tidak efektif dalam mengelola potensi nelayan. Ia mencontohkan KUD di TPI Moro Demak yang dahulu memiliki fasilitas lengkap, namun kini tidak lagi berfungsi optimal.

“Kami menginginkan koperasi yang benar-benar dari, oleh, dan untuk nelayan, bukan hanya formalitas,” tegasnya.

Lebih jauh, ia berharap ada keterlibatan pemerintah dalam mengontrol harga hasil laut seperti rajungan dan ikan kembung agar tidak sepenuhnya dikendalikan tengkulak.

“Kenapa petani bisa dikontrol harga berasnya, tapi nelayan tidak? Harga ikan kembung bisa anjlok hingga Rp3.000 saat panen. Kami minta ada pengawasan agar harga tidak dimainkan tengkulak,” katanya.

Sebagai bagian dari solusi berkelanjutan, Safi’i juga mendorong kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk memanfaatkan kapal atau perahu terbengkalai yang mengganggu jalur sungai sebagai rumah ikan. Langkah ini diharapkan menjadi bagian dari upaya pemulihan stok ikan sekaligus penataan wilayah perairan yang lebih produktif. (Sam)